Judul Buku : Princess Badung
Penulis : Veronica Widyastuti
Penerbit : Tiga Ananda
Cetakan : I, Januari 2013
Tebal Buku : 64 hal
Harga : Rp. 22.000,-
Bagaimanakah
perasaan Anda jika mendapat julukan “bengal” atau “pelupa”?
Pastinya tidak nyaman, bukan? Begitu juga dengan seorang anak. Novel
Princess Badung karya Veronica Widyastuti ini mengisahkan
tentang ketidaknyamanan seorang anak yang mendapat julukan negatif.
Kyla – tokoh utama dalam novel ini – adalah anak berumur 7 tahun
yang sangat menggemari pernak-pernik tokoh princess.
Kyla bahkan bercita-cita menjadi seorang princess yang anggun.
Kesempatan itu datang saat Kyla diminta menjadi “patah”, putri
pengipas pengantin dalam adat pernikahan tradisional jawa. Sayangnya,
Kyla malah mendapat julukan Princess Badung gara-gara kejadian
yang dialaminya saat menjadi “patah” (hal.12).
Kyla
kesal dengan julukan badung yang melekat pada dirinya. Kyla bertekad
memulihkan nama baiknya. Kyla ingin membuktikan bahwa ia bisa menjadi
princess yang anggun. Kyla belajar menari jawa, membuat
aksesoris, hingga belajar memasak. Berhubung Kyla anak yang heboh dan
sedikit ceroboh, ada saja kejadian yang membuat usahanya kacau.
Mampukah Kyla membuktikan bahwa dirinya adalah Princess Anggun
dan bukan Princess Badung?
Sebuah
cerita seru untuk anak yang baru pertama kali membaca novel. Tokoh
utamanya yang lucu dan heboh membuat pembaca asyik mengikuti kisahnya
hingga akhir. Pembaca yang kebetulan mendapat julukan negatif seolah
disupport oleh penulis untuk membuktikan bahwa julukan itu
tidak benar. Selain menghibur dan menginspirasi, novel ini juga
mengenalkan budaya jawa. Seperti cerita tentang “patah”, tari
jawa, dan makanan tradisional “klepon”.
Novel
yang sejenis dengan novel ini adalah Lupi Miss Palopa karya Drea
Medits. Berbeda dengan Princess Badung yang target pembacanya
anak SD kelas bawah, sasaran pembaca Lupi Miss Palopa adalah anak SD
kelas atas. Tokoh dalam kedua novel tersebut sama-sama berjuang
memulihkan nama baiknya. Perbedaannya terletak pada nilai-nilai yang
ditonjolkan penulis. Pada Princess Badung, mengangkat nilai
kreativitas dan semangat pantang menyerah. Sedang, dalam Lupi Miss
Palopa, meski terdapat nilai kreativitas di dalamnya, namun lebih
menekankan pada nilai persahabatan.
Seandainya
saya penulis novel ini, saya akan menggambarkan seperti apa princess
yang dikagumi Kyla. Novel ini hanya menceritakan bahwa Kyla
menggemari pernak-pernik princess (hal.14).
Padahal pernak-pernik princess yang saat ini ada adalah
princess ala disney. Jika mengikuti Teori Peniruan (Modelling)
Albert Bandura, mestinya Kyla meniru princess ala disney
dengan dandanan dan dansanya yang khas. Bukan malah belajar menari
jawa. Kalaupun kemudian Kyla mau belajar tari jawa, pastinya ada
pengaruh dari lingkungannya. Di novel ini memang diceritakan bahwa
Ayah Kyla mantan seorang penari (hal.25). Tetapi, hanya sebagai
kejutan cerita. Tidak ada deskripsi atau pun narasi yang menceritakan
pengaruh orang tua hingga Kyla punya inisiatif belajar menari jawa.
Namun,
secara keseluruhan novel ini cukup bagus. Penulis novel patut
diacungi jempol karena berani keluar dari pakemnya. Bahkan berani
memberi judul Princess Badung. Judul yang kurang diminati
karena terkesan negatif. Semoga orang tua yang mendampingi anak saat
membeli buku, tidak hanya melihat judulnya saja. Tetapi juga membaca
sinopsis di cover belakangnya. Agar maksud penulis yang layak
diapresiasi ini tersampaikan kepada pembacanya.
Referensi :
1). Drea Medits, Lupi
Miss Palopa, Yogyakarta : Nyonyo. 2013
2). Teori Belajar Sosial
Albert Bandura, tulisan dari Joko Winarto di Kompasiana tanggal 13
Maret 2011. Web site :
http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori-belajar-sosial-albert-bandura-346947
Tulisan
ini diikutkan dalam Lomba Resensi Buku Anak Paber yang
diselenggarakan oleh Forum Penulis Bacaan Anak. Selamat Ulang Tahun
yang ke-3. Semoga PBA semakin jaya.
Komentar
Posting Komentar