Pagi itu saya hendak
mencuci pakaian. Dua gunung baju kotor “ngawe-awe” minta dicuci.
Segunung baju bisa langsung dimasukkan mesin cuci. Segunung lagi,
baju dan celana anak-anak yang harus dibilas terlebih dahulu. Sengaja
dua gunung itu saya pisah sejak awal agar memudahkan saat mencucinya.
Kulihat
Reksa asyik menata mainan seperti pedagang sedang menggelar lapaknya.
Sedangkan Saka puter-puter ruangan dengan kelincinya. “Pertanda
yang baik” batinku dalam hati. Anak-anak anteng bermain, sementara
ibu bisa tenang bekerja. Impian hampir sebagian besar ibu rumah
tangga sepertiku.
Namun,
kenyataan seringkali berlainan. Saat hendak menuju ke kamar mandi,
Reksa memanggil.
“Bun,
iki dua ratus to?” tanya Reksa sambil memperlihatkan uang
kertasnya.
“Angka
nol-nya ada berapa?” Saya balik bertanya.
“Tiga”
“Berarti
kui dua ribu. Nek dua ratus ki angka nolnya dua.” jelasku.
“Oh..”
Reksa manggut-manggut dan kembali berkutat dengan uang kertasnya.
Saya
pun kembali menggendong cucian. Menaruhnya di bawah kran dan mulai
mencuci. Baru lima menit, kudengar lagi panggilan Reksa.
“Bun,
kok uange nggak ada yang dua ratus?”
“Ya
kalau uang kertas adanya 1000, 2000, 5000 sama 10.000, Mbak. Nek 200
ki uang koin.”
“Aku
pengen uang kertas 200, Bun.”
“Oh..
Ning Bunda lagi nyuci je, Mbak. Mangkeh, nggeh?”
janjiku pada Reksa. Berharap semoga ia tidak kecewa. Namun, tetap
saja ada gurat kekecewaan di wajahnya. Ia pun berbalik menuju
tempatnya bermain. Dan saya pun kembali berhadapan dengan setumpuk
celana yang bau pesingnya sungguh menusuk hidung.
Sambil
membilas, kata-kata yang terakhir kuucap terngiang-ngiang di telinga.
Sepertinya, kata-kata tersebut sering keluar dari mulutku akhir-akhir
ini. Ya, anakku sering kunomorduakan. Dengan berdalih sedang mencuci,
menyapu, menyetrika, membungkus paket dan segudang alasan lainnya,
saya selalu menunda permintaannya. Setelah pekerjaan rumah tangga
beres, permintaannya baru kupenuhi. Mengapa tidak cucian saja yang
menunggu? Pikiranku mulai terusik. Lagi pula permintaannya nggak
membutuhkan waktu lama. Hey, bukankah buku-buku parenting yang kau
baca menyarankan untuk mendahulukannya karena di momen seperti inilah
anakmu belajar? Mendadak saya malu.
Kubasuh
kedua tanganku dan berjalan menuju tempat Reksa bermain.
“Uang
200 ya, Mbak? Ya, dibuatin Bunda sekarang.”
“Yeee...
Asyikk.” teriak Reksa gembira. Saya ikut senang melihat
ekspresinya.
Saya
pun duduk di depan laptop. Saya ingat kalau uang kertas yang dipakai
Reksa bermain tadi adalah uang kertas download dari website rumah
inspirasi. Jadi, saya memutuskan untuk melihat bentuk uang kertas
tersebut.
“Bun,
gambar princess ya!” Pinta Reksa. “Eh, mickey mouse wae. Aku
seneng mickey mouse.” ralatnya.
“Ya”
jawabku sambil mencari gambar mickey mouse.
“Gambar
sing iki, Bun,” tunjuk Reksa pada salah satu gambar mickey mouse di
layar laptop.
“Oya.”
Saya pun mengcopy gambar yang dimaksud Reksa.
Ternyata
memenuhi keinginan anak tidak selama yang kuperkirakan. Setelah
mengatur panjang lebar uang. Setelah menghiasainya dengan gambar
mickey mouse dan bintang. Setelah menuliskan angka 200 di tengahnya.
Setelah menggandakan gambar uang tersebut menjadi sehalaman penuh
kertas ukuran kwarto, akhirnya uang tersebut jadi. Bahkan saya juga
sempat membuatkan uang kertas 500, 1000, 2000 dan 5000 bergambar
mickey mouse untuk Reksa.
Reksa
senang sekali saat melihat uang pesanannya jadi. Ia menawarkan diri
mengguntingnya. Berulang ia bilang “Makasih, Bunda. Aku sayang,
Bunda.” Saya jadi terharu. Betapa waktu setengah jam sangat berarti
bagi Reksa. Reksa senang, saya pun ikut bahagia.
Maafkan
Bunda, Nak. Bunda akan terus berusaha menjadi lebih baik. Bunda
sayang Reksa dan Saka. Bunda menulis kisah ini untuk pengingat Bunda
sendiri.
Komentar
Posting Komentar