Pindah
Rumah
Pukul 04.00 WIB kemarin anak-anak
sudah bangun. Saya pikir mereka bangun sebentar untuk minum kemudian
lanjut tidur lagi. Ternyata mereka tetep melek sampai pagi. Jadilah,
saya ajak mereka memindah barang-barang ke rumah baru. Letaknya hanya
10 meter dari rumah yang kami tinggali sekarang.
“Mbak, Bunda mau mindah-mindah
barang ke rumah baru. Mbak karo adek bantu Bunda, ya?” pintaku pada
Reksa dan Saka.
“Ya. Aku ikut bantu apa, Bunda?”
tanya Reksa.
“Bantu mindah baju dan mainan Mbak
Reksa,” jawabku sambil memasukkan baju ke tas besar.
Reksa kemudian mengambil tas yang agak
sedang. Dia memasukkan mainan ke dalam tas hingga hampir penuh. Saka
hanya ikut wira-wiri saja. Hehe.. Setelah mengisi tas penuh-penuh,
kami berjalan menuju rumah baru. Meletakkan barang-barang di karpet,
kemudian balik lagi untuk mengambil barang.
Saat memasukkan baju ke dalam tas,
Saka punya inisiatif membantu Bunda.
“Ma, Ata bantu,” pintanya
kepadaku.
“Oya, adek yang ambil baju dari
lemari. Bunda yang memasukkan ke tas, ya?” Saya menjelaskan supaya
Saka paham apa yang mesti dilakukan.
“Bun, iki piye? Bunda wae sing
memasukkan ke tas.” ucap Reksa tiba-tiba. Rupanya dia kesulitan
memasukkan baju ke dalam tas.
“Baju yang besar-besar dulu
dimasukkan. Terus baju yang kecil ditaruh di atasnya.” Saya memberi
tahu cara menata baju di tas supaya ringkes dan bisa muat banyak.
Setelah tas terisi penuh baju, kami
berjalan lagi menuju rumah baru. Saat naik tangga, Reksa tidak kuat
mengangkat tas.
“Dek, ayo digowo bareng. Abot
tenan,” ajak Reksa pada adeknya.
“Yoh.” Saka mendatangi Reksa
membantu menyeret tas.
Saya pun kemudian meninggalkan
keduanya karena harus bolak-balik bawa barang. Kalau harus menunggu,
ngalamat pindahan kelar menjelang kiamat. Hahaha..
“Dek, bantu!” teriak Reksa dengan
nada kesal.
“Yoh.” Kudengar Saka mengiyakan
permintaan Mbaknya. Sayangnya dia tidak mendatangi Mbaknya. Malah
berjalan mengikutiku.
“Dek, bantu! Huhuhu...,” Reksa
menangis keras.
![]() |
Saka membantu membawa baju saat pindah rumah (2/6/2017) |
Mendengar tangisan Reksa, saya pun
menaruh tas lalu menemuinya. Kulihat dia menangis di pojokan mushola
karena kesal tidak dibantu adeknya.
“Kenapa, Mbak? Berat to?” saya
mencoba memahami perasaannya.
“Adek ki nggak mau bantu. Huhuhu...”
Reksa menjawab sambil terisak.
Saya mencoba mengangkat tas yang
dibawa Reksa. “Waaa.. Berat je. Ayo, sini, Dek. Mbak dibantu
ngangkat tas,” saya meminta Saka agar mau membantu Mbaknya.
Saka tidak mau mendekat. Melihat ke
arah Reksa dengan bingung mengapa Mbaknya menangis.
“Yo wis yo. Diangkat bareng, Bunda,”
ajakku pada Reksa. Diapun akhirnya luluh dan berjalan mengangkat tas
bersamaku. “Sing sabar yo, Mbak. Mengajari adek ki kudu sabar. Dulu
Mbak Reksa juga kadang nggak mau bantu Bunda seperti Dek Saka tadi.
Tapi lama kelamaan jadi rajin.”
Melihat saya mengangkat tas bersama
Reksa, Saka kemudian berinisiatif menggeret tas yang tadi saya
geletakkan di halaman. Dia dengan suka rela menggeretnya sendiri.
Hehehe..
“Waaa.. Adek hebat. Bisa bawa tas
sendiri,” saya memuji usaha Saka.
“Hahaha...,” Reksa yang melihat
adeknya kerepotan bawa tas, tertawa-tawa senang.
Setelah bolak-balik bak setrikaan,
akhirnya acara memindah barang ke rumah baru selesai berkat bantuan
Reksa dan Saka. Selain menjadi momen belajar saya dalam mempraktekkan
komunikasi produktif, juga sebagai momen belajar Reksa dalam mendidik
adiknya.
Kembali Menemani Anak Sekolah
Dalam perjalanan menjadi seorang ibu,
saya menemukan bahwa anak sangat memahami kondisi orang tua. Saat
orang tua dalam keadaan sakit, misalnya. Anak-anak paham bagaimana
mereka mesti bersikap dan bertingkah laku. Tentu saja orang tua juga
harus menyampaikan kondisinya dengan jujur pada sang anak. Pelajaran
ini saya dapatkan setelah saya menjalani operasi ringan tanggal 1 Mei
2017.
Sebelum saya operasi, Saka kadang
masih minta digendong. Saya sendiri juga merasa perlu menggendong
saat anak sakit, menangis atau saat kecapekan dalam perjalanan ke
sekolah. Saya pikir akan butuh waktu lama untuk memberi pemahaman
kepada Saka supaya dia tidak minta gendong. Ternyata anggapan saya
tidak sepenuhnya benar. Pasca saya operasi, Saka bisa memahami bahwa
bundanya sakit, sehingga dia tidak minta gendong pada bundanya. Saat
Reksa sekolah, Saka juga bisa memahami kondisi saya yang tidak bisa
ikut menemaninya di PAUD. Kalau Saka ingin sekolah, dia bersedia
ditemani Bu Lek-nya yang sekaligus menjemput Reksa.
Jumat kemarin (2/6/2017), Reksa
berniat masuk sekolah. Melihat kakaknya sibuk menyiapkan peralatan
sekolah, Saka mendatangiku.
“Ma, Ata karo Bu Lek Ida? (Ma, Saka
berangkat sekolahnya sama Bu Lek Ida?)” tanya Saka memastikan.
Berhubung kondisi saya sudah jauh
lebih baik, saya pikir sekaranglah waktunya saya kembali menemani
anak ke sekolah. Saka bisa duduk di jok belakang bersama kakaknya.
“Mmm.. Saka berangkat bareng Bunda.”
“Haa? Bareng, Ma? Ma atit (sakit)?”
tanya Saka bingung.
“Bunda sudah sembuh. Nanti yang
nganter sekolah, Bunda.”
“Waaa.. Ma sembuh,” Saka senang.
Dia lantas memelukku. “Hehu, Ma. (I love you, Bunda)”.
![]() |
Reksa dan Saka siap berangkat PAUD (2/6/2017) |
Reksa yang mendengar percakapan kami
pun ikut bergembira. Dia mendekatiku dan langsung memelukku. “Aku
sayang, Bunda,” ucapnya sambil menciumku. Tak kuasa, air mataku
meleleh.
“Nanti adek dibonceng Bunda di
belakang, ya? Mbak yang njagani adek,” saya beritahu anak-anak
sejak awal. Dulu, saat mengendarai motor, Saka biasanya saya gendong
di depan. Sedangkan Reksa duduk di belakang.
“Yoh.” jawabnya mantap.
Saya bersyukur anak-anak sangat
memahami kondisi kesehatan saya. Saya juga bersyukur mempunyai teman
sesama wali murid yang rela menggendong Saka saat Saka minta naik
komidi putar. Semoga kesehatan saya semakin membaik sehingga bisa
terus menemani anak-anak berkegiatan. Amin.
#level1
#day3
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Komentar
Posting Komentar