Memberi
Pilihan Aktivitas
Jadwal aktivitas anak-anak setiap
senin pagi adalah sekolah di PAUD. Sebelum berangkat biasanya saya
tanya kepada mereka apakah mau sekolah ataukah tidak. Sejak awal saya
memang tidak memaksa anak untuk sekolah karena saya percaya bahwa
belajar itu bisa dimana saja. Berhubung Reksa itu anaknya senang
berteman, dia lebih memilih berangkat sekolah dibanding beraktivitas
di rumah.
Di sekolah, Reksa sudah mandiri. Dia
beraktivitas sesuai arahan guru tanpa perlu saya dampingi. Seperti
saat mewarnai, melipat, menggunting, membuat prakarya dan
berolahraga. Saya hanya sesekali mengecek saja untuk melihat
perkembangan belajarnya. Reksa juga sudah berani saya tinggal
sendiri. Jadi, saat kondisi tidak memungkinkan (semisal saat saya
sakit), Reksa tidak perlu ditemani.
![]() |
Reksa (tengah) mewarnai di sekolah (5/6/2017) |
Adapun untuk Saka, saya masih harus
mengawasi aktivitasnya. Saka juga masih saya bebaskan untuk memilih
aktivitasnya karena di usianya sekarang (2 tahun 9 bulan) dia belum
bisa duduk diam dalam waktu yang agak lama. Jadi, meskipun dia
tercatat sebagai peserta didik PAUD, Saka bebas memilih aktivitasnya.
Beruntung, PAUD tempat belajar anak-anak membolehkan orang tuanya
menemani sehingga Saka bisa saya temani saat beraktivitas di sekolah.
Senin kemarin, saat teman-temannya
mewarnai, saya bertanya pada Saka apakah dia ingin mewarnai juga.
Ternyata dia lebih memilih menata balok bayu. Dia senang sekali saat
bisa menata baloknya hingga tinggi.
“Ma, ki dhuwur.” Saka menunjuk
balok yang disusunnya.
“Waaa, iya. Dhuwur banget. Coba
tambah lagi, dek!” Saya mengapresiasi kreativitasnya.
Saka meletakkan satu balok lagi di
atas tumpukan baloknya. “Bruk,” suara balok berjatuhan membuat
Saka tertawa gembira. Dia kemudian menata ulang tumpukan baloknya.
Setelah agak lama bermain balok, Saka melihat teman-temannya mewarnai
gambar ikan. Sepertinya Saka mulai tertarik.
“Adek mau mewarnai?”
“Ho oh,” jawabnya sambil
mengangguk.
“Kalau ingin mewarnai, minta kertas
sama Bu Ita,” pintaku padanya.
Saka lantas meminta kertas ke ibu
gurunya. Dia memilih crayon dan mulai mewarnai ikan sekehendaknya.
Hehe.. Saya mencoba menjelaskan gambar mana yang diwarnai agar
goresan crayonnya bisa lebih teratur.
“Ini lho, dek, ikannya diwarnai.”
Saya mengambil salah satu crayon dan mulai mencontohkan cara mewarnai
gambar.
“Ma,” ucapnya sambil menyerahkan
kertas gambar kepada saya. Saka malah meminta saya yang mewarnai
gambar ikan.
“Lho, Dek Saka sing mewarnai. Nanti
kalau sudah selesai mewarnai, gambarnya digunting.”
![]() |
Saka bermain balok di sekolah (5/6/2017) |
“Ma,” ucapnya tetap tidak mau
mewarnai.
“Adek ajeng mewarnai atau
menggunting,” saya memberi pilihan seperti ilmu komunikasi
produktif yang diajarkan di IIP.
“Ma.” Lagi-lagi dia tidak memilih.
Tepok jidat bundanya. Hehehe.. Saya
pun kemudian mewarnai salah satu ikan. Mungkin Saka perlu dicontohkan
bagaimana caranya.
“Adek mangkeh sing menggunting ikan
nggeh?”
“Ma.” jawabnya santai.
“Oh, Dek Saka pengen menempel
mawon?”
“Ma.”
Saya tersenyum mendengar jawabannya
yang konsisten. “Lah, adek pengen ngopo?”
“Ndeyok (lihat),” jawab Saka
jujur.
Kali ini saya ingin tertawa pakai TOA.
Hahaha.. Saya lantas mewarnai beberapa ikan dan mengguntingnya. Meski
awalnya tidak mau mewarnai dan menggunting, saya coba meminta Saka
menempel ikan di bukunya. Alhamdulillah, dia mau menempel ikan. Saya
memang tidak memaksa anak mengikuti aktivitas PAUD. Saya hanya
mencontohkannya. Syukurlah jika anak tertarik. Akan tetapi kalau
tidak tertarik, biarlah dia bebas memilih yang disukainya. Toh bagi
anak-anak, bermain adalah belajar.
Lelaki Pemberani
Selepas
sholat maghrib, kami sekeluarga duduk di beranda rumah. Anak-anak
bermain sambil bernyanyi. Saya
bertugas sebagai host yang tugasnya memanggil anak-anak bernyanyi
secara bergantian. Saat giliran Saka yang menyanyi, saya ikutan
menyanyi karena Saka belum bisa menyanyi secara utuh. Baru bisa
menirukan akhir katanya. Selain menyanyi, anak-anak juga bermain
peran. Apalagi kalau bukan berperan sebagai hantu. Mereka senang
menakuti ayahnya sambil merem-merem dan teriak “huaaah”. Ayah pun
pura-pura takut. Anak-anak tentu saja senang karena merasa berhasil
menakut-nakuti. Hehehe...
![]() |
Reksa dan Saka berperan sebagai hantu (5/6/2017) |
Setelah menamani anak-anak bermain,
saya duduk disamping ayah.
“Kerjaku ki kepenak tenan, yo.
(Kerjaku enak banget, ya?” Ayah memulai pembicaraan sambil tetap
menatap layar laptop. Sejak Reksa berusia 5 bulan di kandungan, ayah
memang bekerja di rumah. Merintis usahanya di bidang pembuatan
software bersama karyawannya.
“Iya. Maneh bojone 24 jam neng
sandinge. (Iya. Apalagi istrinya berada di sampingya 24 jam).
Bersyukur, Yah,” balasku sambil tersenyum. Sejak setahun yang lalu
(Maret 2016), saya memutuskan resign dari PNS dan memilih menemani
anak-anak di rumah.
“Kepenak maneh nek aku lungguh neng
tengah. Terus ono sing lungguh neng kanan kiriku. Hehehe.. (Enak lagi
kalau saya duduk di tengah. Terus ada yang duduk di kanan dan
kiriku.)”
“Wooo.. Hak desh!” Saya
melancarkan pukulan di bahu kanannya. Saya tahu ayah bercanda. Dia
memang kadang menggodaku dengan obrolan seperti itu.
Ayah tertawa. “Kan lelaki
pemberani?”
“Lelaki pemberani adalah lelaki yang
mau membantu pekerjaan istrinya,” ucapku agak menyindir ayah.
“Lehku ngewangi ki kurang opo to?”
tanya Ayah dengan nada prihatin.
Saya tertegun mendengarnya. Ya, selama
ini ayah sudah cukup membantu saya dalam hal memasak dan mencuci
piring. Ayah memang tidak secara langsung terjun mengerjakannya.
Namun, ayah membantu saya melalui asisten rumah tangga yang bekerja
di keluarga kami.
Entah mengapa, saat kondisi repot
seperti saat pindah rumah kemarin, saya masih butuh dibantu. Apalagi
ayah menginginkan rumah secepatnya bersih. Munginkah saya kurang
bersyukur? Obrolan malam itu membuat saya merenung. Sepertinya saya
perlu belajar mengatur waktu lagi agar semua kerjaan bisa tertangani
tanpa bibir njegadul (cemberut).
Bismillah.
#level1
#day6
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Komentar
Posting Komentar