Saka
Belajar Njempol
Reksa biasa memuji adiknya dengan kata
“jos” atau “sip” sambil mengangkat kedua jempolnya (njempol)
saat Saka berhasil melakukan sesuatu. Saka yang melihat tingkah
kakaknya pun berusaha njempol. Namun yang terangkat dari
tangannya adalah telunjuk. Saya tahu Saka sudah berusaha, hanya saja
tangannya belum bisa menekuk jari telunjuk, tengah, jari manis dan
kelingking secara bersamaan.
“Salah kui, Dek,” Reksa mengoreksi
cara Saka njempol.
“Ha...aaa,” Saka kesal karena
disebut salah.
“Sing bener ki ngene iki.” Reksa
mencontohkan cara njempol yang benar.
Sekali lagi Saka menirukan, tetapi
yang keluar malah telunjuknya. Saka kemudian menangis.
![]() |
Saka sudah bisa njempol (7/6/2017) |
Saya mendekatinya dan mengajarkan
bagaimana njempol. Saya meminta Saka merentangkan semua
jarinya, baru pelan-pelan menekuk jari telunjuk, jari tengah, jari
manis dan kelingking secara bersamaan. Saka mengikuti arahan saya.
Rupanya dia kesusahan menekuk keempat jarinya bersamaan. Beberapa
kali saya membantunya. Dengan bantuan saya, Saka akhirnya bisa
njempol.
“Sekarang Saka njempol dewe,
yo.” Saya meminta Saka menekuk sendiri sambil saya mencontohkan
caranya.
Saka mencobanya sendiri. Berulang kali
salah.
“Ngene iki, lho, Dek.” saya
mencontoh berulang-ulang.
Saka mencoba lagi menggerakkan
jari-jarinya. Mencoba dan terus mencoba lagi. Voila.. Akhirnya dia
bisa njempol sendiri. “Ngene iki, Ma?”
“Iya. Bener. Bagus, Dek.” Saya
memuji usahanya.
“Ha...” Saka senang bisa njempol.
“Sana, Ayah dikasih tahu kalau Saka
sudah bisa njempol.” Saya meminta Saka menemui ayahnya agar
kebahagiaannya semakin bertambah. Apresiasi orang tua terhadap usaha
anak dalam melakukan sesuatu sangat berarti bagi diri anak. Dia akan
merasa berharga dan kelak dia tidak akan takut mencoba melakukan hal
lain yang lebih menantang. Good job, Saka! We love you full.
Reksa
Belajar Sopan Santun
Siang hari saat saya baru saja selesai
menjemur pakaian, keluarga kami kedatangan tamu. Kakak kandung saya
yang pertama mampir dalam perjalanan dari Wates. Beliau bersama
temannya bermaksud ikut sholat di rumah kami. Tentu saja tujuan
utamanya agar bisa ketemu dengan saya dan anak-anak. Kebetulan kami
memang jarang sekali bertemu karena kesibukan kami masing-masing.
Berhubung bulan ramadhan, saya hanya
menyediakan bantal di ruang tamu agar bisa digunakan rebahan sejenak.
Saya meminta mereka untuk istirahat sebelum melanjutkan perjalanan
lagi ke Jogja. Saat mereka sholat di musholla, Reksa datang
menghampiri saya. Dia langsung tidur di atas bantal yang saya
sediakan untuk tamu.
“Mbak, jangan tidur di atas bantal!”
Saya melarang Reksa. Eh, saya baru sadar kalau ucapan saya tadi
menggunakan kalimat negatif. “Mbak, bantalnya untuk tamu. Mbak
tidur di karpet saja.” Saya buru-buru mengoreksi kalimat tersebut.
“Moh.” Reksa tetap tidak mau
pindah.
“Welah, tidur itu nggak boleh di
atas bantal. Nanti pantatnya wudunen (bisul).”
Karena takut tamunya datang, saya
mengucapkan kalimat sama persis yang biasa diucapkan orang tua zaman
dahulu. Padahal saya sadar kalau ucapan tersebut tidak benar. Hanya
karena ingin agar Reksa cepat pindah dari bantal, saya mengucapkan
kalimat tersebut. Apakah kemudian Reksa mau pindah tempat? Ternyata
tidak. Reksa tetap saja santai tidur di atas bantal.
Saya sudah kehabisan akal. Dalam
kondisi mendesak, ilmu komunikasi produktif bubar jalan. Saya lantas
menarik kaki Reksa pelan-pelan. “Pindah ke sini,” kataku tegas.
Reksa pun kemudian pindah ke karpet. Bantal saya jauhkan dari
jangkauannya. Sepuluh detik kemudian tamu sudah selesai sholat dan
bergabung bersama kami di ruang tamu.
Setelah tamu pamitan, saya
mengevaluasi komunikasi saya dengan Reksa. Sebenarnya Reksa akan
bersikap sopan jika saya sudah memberinya pelajaran mengenai sopan
santun saat menerima tamu. Jujur, selama ini banyak yang belum saya
ajarkan pada anak-anak. Saya hanya menjalaninya saja tanpa terlebih
dahulu memberinya bekal. Saat ada kejadian yang kurang baik, saya
baru memberinya nasehat. Mengatakan sebaiknya anak-anak begini dan
begitu bla bla bla. Baiklah, jadi PR bunda adalah menyusun kurikulum
pendidikan anak-anak. Termasuk di dalamnya ilmu adab.
Menerapkan Kaidah 2C
“Ba'da ashar keluar yo, Bun,” ajak
Ayah tiba-tiba.
“Ha? Memang mau ngapain, Yah?”
Tidak ada rencana keluar kok ayah tiba-tiba mengajak keluar.
“La piye? Nggak ada progres gini.
Banyak peralatan dapur yang belum dibeli,” keluh Ayah.
Oh, jadi Ayah merasa saya kurang sigap
dalam membeli peralatan rumah tangga. Kami memang sempat ke swalayan
Wates. Sudah beli beberapa perlatan kebersihan. Sementara untuk
keperluan rumah tangga seperti peralatan masak dan makan memang belum
beli karena peralatan yang saya cari tidak ada barangnya. Seingatku
saya sudah menyampaikan alasan tersebut pada ayah. Rupanya pesan saya
tidak diterima dengan baik. Berhubung saya yang harus bertanggung
jawab atas hasil dari komunikasi saya, maka saya pun menyampaikan
ulang pada Ayah.
“Yah, masalahe barang yang saya cari
nggak ada di swalayan Wates. Adanya barang dari bahan aluminium.
Sedang yang saya cari peralatan masak dari bahan stainless stell.
Kalau peralatan kebersihan mah sudah beli.” Saya memberi alasan
dengan jelas sesuai kaidah 2C (clear and clarification).
“Oh, ngono?” Ayah baru memahami
alasan mengapa progres pembelian peralatan rumah tangga lambat. “Yo
wis, nanti sore ke Wates nyari dispenser aja. Keburu dibutuhkan.”
“Oke,” Saya lega komunikasi kami
membaik.
#level1
#day8
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Komentar
Posting Komentar