Kartu
Ucapan dari Reksa
Pagi hari selepas shubuh, saya
beres-beres rumah. Dimulai dari melipat baju, menatanya hingga
memasukkan ke almari. Melihat saya sedang melipat baju, Reksa ikut
nimbrung. Dia melihat kaos baru ayah yang masih terbungkus plastik di
tumpukan baju.
“Bun, kaos-e ayah kok diplastiki
maneh?” tanya Reksa sambil mulai membuka plastik kaos tersebut.
Saya hampir saja mau melarang Reksa
membuka plastik tersebut karena sebelumnya dia membuka dan tidak
mengembalikannya seperti semula. Namun, saya mencoba menahan diri
untuk tidak melarang. Akan lebih baik jika saya bertanya terlebih
dahulu mengapa dia ingin membukanya lagi.
“Iya. Memange mau dipakai untuk apa,
Mbak?”
“Kertase arep tak nggo aktivitas,
Bun.” Reksa mengeluarkan kertas pembatas yang ada di dalam kaos.
“Oh, yo, wis.” Saya membolehkan
karena alasannya jelas.
Saya kemudian melanjutkan lipat
melipat baju. Di tengah-tengah pekerjaan tersebut, Reksa tiba-tiba
bertanya.
“Bun, huruf “n” ki piye le
nulis?” tanyanya sambil memegang kertas dan bolpoin.
“Oh, begini lho, Mbak.” Saya
mencontohkan huruf “n” dengan menggunakan telunjuk.
Reksa kemudian menulis huruf “n”
di kertasnya. Dia bertanya lagi bagaimana menulis huruf “d”, “s”,
“y” dan “g”. Saya penasaran mengetahui apa yang sedang
dikerjakan Reksa. Namun, dia tak membolehkan saya melihatnya.
“Le nulis, aku sayang bunda, piye,
Bun?” tanya Reksa kebingungan.
![]() |
Kartu Ucapan dari Reksa (3/6/2017) |
Saya mengajarinya menulis huruf per
huruf hingga terangkai kalimat yang diinginkan Reksa. Namun karena
Reksa menulis kata “bunda” terlebih dahulu, jadilah susunan
kalimatnya bukan “aku sayang bunda” tetapi, “bunda aku sayang”.
Hehe.. Setelah menghiasinya dengan gambar hati, balon, matahari dan
awan, Reksa menyerahkan kartu ucapannya kepadaku. Alhamdulillah. Saya
sangat mengapresiasi inisiatif, kreativitas dan curahan kasih
sayangnya.
Bersyukur saya tadi tidak langsung
melarangnya membuka plastik kaos ayah. Dengan fokus ke depan dan
bukan melihat masa lalu, komunikasi saya dengan anak menjadi lebih
produktif.
Ikut
Bunda atau Ayah?
Tanggal 3 Juni 2017 keluarga kami
bersama empat tetangga mendapat giliran memberi takjilan di Musholla
dekat rumah. Seperti ramadhan tahun lalu, kelompok kami memutuskan
untuk memasak nasi kotak di rumah Mbak Fala. Menjelang siang hari,
saya bersama dengan anak-anak ikut rewang (membantu memasak). Mulai
dari mengeklip kertas kotak nasi, mengiris sayuran hingga mengaduk
makanan.
Awalnya Saka sangat antusias ikut
rewang. Apalagi di tempat tersebut, Saka bisa bermain bersama
anak-anak tetangga lainnya. Namun, lama-kelamaan Saka mulai rewel.
Saka minta minum, minta makan, berebut mainan hingga minta pulang ke
rumah. Saya jadi tidak enak sama tetangga karena bolak-balik
merepotkan. Akhirnya saya pun mengajaknya pulang. Sesampainya di
rumah, Saka langsung tidur. Saya kembali rewang ke rumah tetangga.
Pukul dua siang, ayah mengirim pesan
kalau Saka bangun. Saya pun bergegas ke rumah. Menemani Saka makan
siang, lantas mengajaknya ikut rewang lagi. Di tempat rewang, Saka
tidak punya teman. Dia mulai rewel minta mie, agar-agar dan mentimun.
Terakhir dia minta BAB di rumah. Tidak mau BAB di toilet tetangga.
Jadilah saya mengantar Saka ke rumah dulu, kemudian kembali lagi ke
rumah tetangga.
“Adek nderek Bunda atau di sini sama
Ayah? Kalau ikut Bunda yo nggak ngajak pulang. Bunda bantu-bantu di
sana.” Saya memberi pilihan kepadanya agar tak repot wira-wiri.
“Nderek Ma (Ikut Bunda).”
“Ya, boleh. Ning ampun rewel,
nggeh?” kataku padanya.
Memberi pilihan pada anak seperti yang
disampaikan dalam materi komunikasi produktif Kulian Bunda Sayang IIP
memang benar sudah saya praktekkan. Tapi oh tapi, saya masih tanpa
sadar menggunakan kata negatif seperti kalimat yang saya tebalkan di
atas. Sang anak bukannya anteng, malah jadi rewel beneran. Setelah
dua kali bolak-balik ke rumah, kembali saya balik lagi ke rumah
mengantar Saka. Kali ini saya sudah menekadkan diri untuk tegas dalam
bertindak.
“Saka nderek Ayah, nggeh? Bunda
harus bantu-bantu menata nasi,” ucapku pada Saka setelah meminta
kesediaan ayah menjaga Saka.
“Yoh,” jawabnya mantap.
Alhamdulillah. Setelah bolak-balik
rumah yang kelima kalinya, saya bisa tenang rewang di rumah tetangga.
Anak pun damai bersama ayahnya.
#level1
#day4
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Komentar
Posting Komentar