Saat
Anak Bertengkar
Berbeda dengan hari sebelumnya yang
“manis” dan menyenangkan, hari Minggu (4/6/2017) Reksa susah
diajak bekerja sama. Saat bermain bersama Saka, Reksa sering
memancing pertengkaran. Hanya karena berbeda pendapat atau ucapan,
Reksa tidak mau memaklumi adiknya. Seperti saat Saka minta dibuatkan
sirup, Saka menyebut kata sirup dengan “iyut” karena memang
ucapannya masih belum jelas.
“Ora iyut, yo. Sirup,” ujar Reksa
mengoreksi ucapan Saka.
“Iyut.” Saka tak mau kalah.
“Sirup. Adik ki salah. Ora, iyut,”
suara Reksa meninggi.
“Iyut.”
“Sirup. Adik ki ngeyel. Sing bener
sirup to, Bunda?” Reksa bertanya kepadaku mencari dukungan.
“Sirup. Adik ki yo ngomonge sirup.
Ning karang lisannya belum sempurna, pengucapane dadi iyut.” Saya
memberi pemahaman kepada Reksa.
“Nek lisanku wis sempurna?” Reksa
balik bertanya.
“Iya. Mbak kan sudah besar. Mbiyen
Mbak yo ngomonge koyo adek. Arep ngomong ayam dadine ayau. Ngomong
bayam dadine bayau. Yo ngono kui. Ning suwe-suwe dadi pener. Adek
sesok yo suwe-suwe pener,” jelasku panjang lebar. Saya teringat
materi komunikasi produktif tentang mengganti nasehat dengan refleksi
pengalaman. Dalam momen ini, saya menuturkan pengalaman bunda dulu
saat Reksa masih cadel. Saya berharap Reksa bisa memahami kondisi
adiknya sehingga tidak mudah memancing pertengkaran.
“Oh...” Reksa manggut-manggut.
Dia lalu menlanjutkan bongkar-bongkar mainan bersama Saka.
![]() |
Monyet atau Huhu Haha, ya? (4/6/2017) |
Rupanya kedamaian tidak berlangsung
lama. Saat saya mencuci pakaian, kudengar pertengkaran antara dua
bocil itu terjadi lagi.
“Kui ki MONYET,” ucap Reksa.
“UDU. HUHU HAHA..,” Saka ngeyel.
Dia memang menyebut “monyet” dengan “huhu haha”. Menirukan
nama salah satu tokoh cerita di buku. Jadi, sebenarnya semuanya
benar.
“MONYET” teriak Reksa tak mau
kalah.
“HUHU HAHA!”
“MONYET”
“HUHU HAHA”
Setelah bosan mendengar keduanya
berseteru tentang “MONYET” dan “HUHU HAHA”, saya akhirnya
turun tangan.
“Monyet dan huhu haha itu sama. Nama
hewannya monyet. Bunyinya 'huhu haha'. Mbak bener, menyebut monyet.
Adek yo bener, menyebut huhu haha. Terserah mau pilih yang mana.
Kabeh bener.” Lagi-lagi saya menjelaskan kepada keduanya.
“Nek aku bilang monyet,” ujar
Reksa.
“Ya, boleh. Tapi yo ojo menyalahkan
adik. Mengko dadine rame.”
Dua cerita di atas hanyalah dua contoh
dari banyak contoh pertengkaran antara Reksa dan Saka. Terkadang saya
langsung menengahi. Namun, kalau kondisinya tidak memungkinkan, saya
mencari waktu yang tepat. Biasanya saya sampaikan pada ayah tentang
topik pertengkaran antar keduanya. Dan ayahlah yang menjelaskan
kepada keduanya bagaimana seharusnya bersikap dengan saudara.
Ayah
Marah, Bunda Cemberut
Sejak jumat pagi, keluarga kami
pindah ke rumah sebelah yang lebih luas. Baju-baju dan mainan saya
pindah jumat pagi bersama anak-anak. Sedang almari pakaian baru
dipindah jumat malam. Hari sabtu pagi saya mencicil memasukkan
beberapa baju ke almari. Sabtu siang hingga sore, saya rewang ke
tetangga membuat takjilan. Malamnya, saya lembur menyelesaikan
tulisan “Day 3 : Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif”. Minggu
pagi saya kembali melipat dan memasukkan baju ke almari. Belum
semuanya. Tapi sudah lumayan mengurangi tumpukan baju di karpet.
Saya ingin segera membereskan baju dan
mainan yang berantakan di rumah. Namun, kondisi terkadang memaksa
saya berhenti sejenak. Seperti saat saya harus mencuci pakaian atau
saat anak-anak minta ditemani. Jadilah, tiga hari rumah kami
berantakan. Gunungan baju menumpuk di karpet. Mainan anak-anak
tersebar di lantai. Belum lagi, ceceran cat air bekas mainan Reksa
yang menambah lantai jadi makin lengket.
Melihat kondisi rumah yang seperti
kapal pecah, ayah menegur bunda agar segera membereskannya. Saya
menjelaskan mengapa rumah belum juga bersih. Awalnya ayah masih
toleran. Lama-lama ayah tidak sabar.
“GEK DIRESIKI OMAHE!” tegurnya
keras saat saya baru selesai menyiapkan makanan untuk anak-anak.
“Iyo, Yah. Tadi juga sudah
dibersihkan. Ya karena disambi mencuci kok, yo.” Saya memberi
penjelasan.
“Nyucine ditinggal sikik kan iso?!”
ujarnya tak mau kalah sambil menonton film bersama anak.
Duh Gusti. Maunya sih rumah bersih,
cucian baju beres, anak tetap kepegang dan bunda masih bisa belajar.
Apa daya, raga hanya satu. Waktu 24 jam mesti dibagi untuk anak,
suami, masyarakat dan diri sendiri. Kalau waktu 24 jam hanya mengurus
pekerjaan rumah tangga, terus kapan bundanya belajar? Inilah suara
hati saya saat suami protes dengan keadaan rumah. Suara hati yang tak
tersampaikan. Hanya bibir njegadul (cemberut) yang bisa
menyampaikannya. Hehehe..
“Makanya dibantu to, Yah. Biar cepet
selesai,” kataku sambil mulai beres-beres rumah. Saya berharap
ayahe tergerak membantu. Sayangnya, ayah malah tetap santai menonton
film.
“Aku kemarin kan wis bantu mindah
lemari,” balas ayah alasan. Sebenarnya yang memindah lemari adalah
karyawan ayah yang tinggal bersama kami. Berhubung yang melakukan
adalah karyawan, itu dimaknai bahwa ayah sudah ikut andil membantu.
Saya menarik napas panjang. Kalau
sudah seperti ini, saya hanya bisa bersabar. Saya akan kerjakan semua
yang menjadi bagian tugas saya. Kalau belum selesai, mohon dimaklumi.
Kalau ingin segera selesai, marilah dibantu. Inilah suara hati ibu
rumah tangga yang kedua. Hehehe..
“Mbak, mainannya sudah. Sekarang,
bantu Bunda.” Saya mengajak Reksa beres-beres. “Adek, le nonton
HP, sudah!” Saya matikan HP di tangan Saka. Saka lantas menangis
keras. Tak ada senyum di wajah saya. Yang ada hanyalah bibir yang
maju 5 cm. Hehehe..
Mendengar saya mengomel, ayah lantas
mematikan TV. Saya pikir ayah akan membantu beres-beres rumah.
Ternyata ayah malah sibuk membongkar lemari yang tak terpakai. Saya
mengembalikan semua baju ke almari, menyimpan mainan anak-anak,
menyapu dan mengepel lantai. Kejengkelan saya lama-lama menguap
seiring bersihnya rumah kami.
Saya memang harus belajar lagi
bagaimana berkomunikasi dengan pasangan. Kaidah 2C yakni Clear and
Clarify sudah saya praktekkan. Hasilnya belum maksimal karena
kejengkelan masih meliputi diri saya. Semoga ke depan, komunikasi
saya dengan pasangan bisa lebih produktif. Amin.
#level1
#day5
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Komentar
Posting Komentar