Langsung ke konten utama

MELUNCUR DI ATAS JAHE

“Teeet! Teeet! Teeet!”
Suara bel berbunyi tiga kali. Tanda ujian berakhir.
Alhamdulillah...”, ucapku pelan. Lega rasanya ujian semester ini telah berakhir. Bergegas aku mengumpulkan lembar jawaban ke depan. Ternyata aku yang paling akhir. Setelah mengambil tas, aku duduk di samping kursi Maikah.
“Mai, aku dengar kabar dari kelas 6, liburan ini kita akan diajak outbond ke Gua Pindul lho..” bisikku pada Maikah. Sudah menjadi kesepakatanku dengan Maikah, pada masa-masa ujian seperti sekarang ini, pantang bagi kami berdua membahas soal ujian sekolah.
Maikah menoleh. “Oya? Asyik dong! Jadi pengen beli gatot sama tiwul.”
“Ah, kau! Makanan aja yang diingat,” kucubit perut Maikah yang semakin buncit.
Maikah memasukkan peralatan tulis ke dalam tas. “Memang sudah pasti ke Gua Pindul?” tanya Maikah ragu-ragu.
Aku mengedikkan bahu. “Yah, semoga aja”
Topik tentang liburan semester memang selalu hangat dalam perbincangan kami. Sudah seminggu kami sekelas membincangkan topik ini. Ada yang mengatakan bahwa kami akan camping bersama di pinggiran Waduk Sermo, Kulon Progo. Ada juga yang mengatakan bahwa kami akan berlibur di Taman buah Mekarsari, Sleman. Wuih.. simpang siur ya..
Ibu Guru Fathin masuk ke kelas. Suasana yang semula riuh menjadi hening. Sudah bisa dipastikan Ibu Guru akan mengumumkannya sekarang. Kami tidak sabar mendengarnya.
“Anak-anak, Ibu ingin menyampaikan informasi seputar agenda liburan sekolah. Tolong diperhatikan ya!” pinta Ibu Guru.
Aku menegakkan bahu. Memasang telinga agar info tak terlewatkan sedikit pun.
“Belum lama ini Bapak Ibu Guru study banding ke MIN Jejeran. Salah satu sekolah tingkat dasar di Bantul yang meraih Juara Lomba Sekolah Sehat tingkat Nasional dan Juara Lomba Sekolah Adiwiyata tingkat Nasional. Kalian tentunya akan betah sekolah disana. Mengapa? Karena sekolahnya sangat bersih, asri, sampah dikelola dengan baik dan ada kebun tanaman obatnya. Mmm.. sangat menyenangkan.” papar Ibu Guru.
 Aku bingung mendengar penjelasan Ibu Guru. Kenapa yang dipaparkan malah cerita tentang kunjungan Bapak Ibu Guru ke MIN Jejeran? Mungkinkah liburan kali ini kita juga akan diajak ke sana? Aku membatin.
“Nah, dari situlah Bapak Ibu Guru ingin mengajak semua warga sekolah mewujudkan sekolah kita seperti MIN Jejeran. Agar belajar kita bisa nyaman. Jadi, untuk liburan seminggu ke depan, agenda kelas kita adalah membuat kebun tanaman obat,” Ibu Guru memperjelas tanda tanya di kepalaku.
“Uuh.. berkebun,” gumamku kurang bersemangat. Ternyata kami tidak berlibur ke luar sekolah. Hanya di sekolah saja. Ya, berkebun. Aku tidak menyangkanya sama sekali. Mana menariknya berkebun?
“Hore...!!” suara gemuruh terdengar dari kelas sebelah. Kami saling berpandangan. Ada apa dengan kelas 6? Kenapa ramai sekali? Berbagai pertanyaan berkelebat di kepalaku. Jangan-jangan..
Ibu Guru tersenyum melihat tingkah kami. “Untuk kelas 6 memang berbeda. Agenda mereka outbond di Gua Pindul. Mereka butuh kesegaran. Setelah ujian semester gasal ini, mereka harus mempersiapkan diri lagi menghadapi ujian akhir sekolah.”
Benar kan?! Sudah kuduga dari awal. Ah, senangnya anak kelas 6. Pantas saja mereka sorak-sorai. Rasa-rasanya aku ingin protes. Namun kuurungkan. Keputusan sekolah jelas sudah tidak bisa dirubah. Aku hanya berharap semoga liburan kali ini tidak membosankan seperti yang kubayangkan.
Setelah menyampaikan pengumuman seputar rencana membuat kebun tanaman obat, Ibu Guru memperkenalkan kami dengan Kakak mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada. Mereka tergabung dalam MAPAGAMA. Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gadjah Mada. Kakak mahasiswa itu kemudian memberi pengarahan tentang apa itu kebun obat. Panjang lebar mereka menerangkannya. Namun tak satu pun yang masuk di telingaku. Yang kuingat, penjelasan dari mahasiswa itu usai setelah membagikan gulungan kertas kecil yang bertuliskan jenis tanaman obat yang harus kami bawa besok senin.

Senin pagi di sekolah.
Sesuai agenda sekolah, libur hari pertama ini kami diminta membawa satu jenis bibit tanaman obat. Aku membawa bibit tanaman jahe. Teman-temanku ada yang membawa bibit tanaman temu lawak, lengkuas, bawang merah, bawang putih, sambiloto dan jenis tanaman obat lainnya.
“Adik-adik kelas 6 diharap segera masuk bus karena sebentar lagi kita akan berangkat!” suara serak Pak Alfan, wali kelas 6, mengingatkan.
Kulihat anak kelas 6 berduyun-duyun menuju bus. Tawa riang menghiasi langkah mereka. Aku hanya bisa menatap kepergian mereka dengan wajah nelangsa.
“Yuk, kita lihat lahan yang mau kita tanam!” ajak Maikah tiba-tiba sambil menarik tanganku.
Aku menurut saja, meski mataku masih tertuju ke anak kelas 6. “Mai, senangnya jadi anak kelas 6 ya? Kakakku cerita kalau outbond di Gua Pindul memang mengasyikkan. Pantas saja banyak orang Jakarta ke sana,” kataku sambil jalan menuju kebun belakang.
Maikah tersenyum. “Oya? Berkebun juga menyenangkan Sa. Asalkan..” Maikah sengaja tidak merampungkan perkataannya.
“Asalkan ada makanannya kan?” sahutku cepat.
“Yee.. Iya juga sih.” Maikah nyengir. “Daripada kamu, mikir Gua Pindul melulu,”
Deg! Benar juga apa kata Maikah. Gua Pindul telah menguasai kepalaku. Hah! Tidak ada gunanya sama sekali. Kataku dalam hati. Seharusnya aku bisa seperti Maikah yang riang gembira menyambut agenda liburan sekarang ini. Meski aku tahu kalau dia pun sebenarnya berharap bisa outbond ke luar sekolah.
Di kebun belakang ternyata sudah ada Kakak Mahasiswa. Mereka sedang menyiapkan peralatan yang akan digunakan. Bersama dengan beberapa guru, mereka berbincang tentang rencana penanaman. Rupanya sebentar lagi kegiatan akan dimulai.

“Anak-anak, masing-masing dari kalian sudah membawa tanaman obat bukan?” tanya Bapak Kepala Sekolah mengawali kegiatan.
“Sudah Pak..” jawab kami serempak.
“Bagus. Dalam kegiatan ini, tidak hanya kalian yang diwajibkan membawa tanaman. Adik kelas dan Kakak kelas kalian juga diwajibkan membawanya. Termasuk Saya dan Bapak Ibu Guru. Hanya saja jenis tanaman yang dibawa berbeda. Masing-masing dari kita wajib merawat tanamannya sendiri. Jika nanti ada tanaman yang mati, kalian harus menggantinya!” Bapak Kepala Sekolah menjelaskan.
Saya baru mengerti. Ternyata kegiatan ini diikuti oleh seluruh warga sekolah. Bukan hanya kelas kami saja. Kelas 1, 2 dan 3 menanam tanaman hias di halaman sekolah. Kelas 4 menanam tanaman buah. Sedangkan kami, kelas 5, menanam tanaman obat. Khusus untuk kelas 6 memang tidak diwajibkan menanam tanaman karena sebentar lagi akan lulus. Sebagai gantinya, mereka mendapat tugas membuat karya ilmiah tentang “Budidaya Tanaman.”
Setelah Bapak Kepala Sekolah memberi arahan, gantian Kakak Mahasiswa yang memandu kami meyiapkan penanaman.
“Sebelum kita mulai menanam, Kakak ingin melihat bibit tanaman yang kalian bawa. Coba Reksa, mana bibit tanaman yang kamu bawa?” Kak Seno menanyaiku. Semua mata beralih memandangku.
Kukeluarkan jahe dari saku. “Ini Kak!” aku menyodorkan jahe ke Kak Seno.
“Loh, Reksa dapat jahe ini dari mana?” tanya Kak Seno kemudian.
“Reksa ambil dari dapur bunda,” jawabku polos.
“Hehe..” Kak Seno tertawa. “Pantas saja. Kalau ini tak perlu ditanam Reksa. Langsung bisa dimanfaatkan. Dibuat wedang ronde enak sepertinya”
Aku ikut tersenyum. “Saya salah ya? Memang bibit yang seperti apa Kak?” tanyaku sambil garuk-garuk kepala.
“Tidak salah. Hanya saja, bibit seperti yang dibawa Reksa ini belum siap tanam. Untuk bisa ditanam, jahe harus diproses dulu. Itu pun tidak sembarang jahe,” tukas Kak Seno.
“Adik-adik, untuk jenis tanaman seperti jahe, temu lawak, lengkuas dan sejenisnya, lebih baik bibitnya beli langsung di penjual bibit tanaman. Mereka biasanya menyediakan bibit yang siap tanam.” saran Kak Seno. “Apa kalian pernah jalan-jalan ke PASTY?”
Kami menggeleng.
“PASTY. Pusat Aneka Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta. Tempatnya di sebelah utara perempatan Dongkelan. Banyak hewan peliharaan dan tanaman hias dijual di sana.”
“Oh.. ada ya?” kami manggut-manggut.
Setelah memastikan bibit tanaman yang akan ditanam berkualitas, Kak Seno memandu kami menanamnya. Tentu saja aku belum bisa menanam bibit yang kubawa. Tapi aku senang bisa ikut membantu teman-temanku.
Siang hari sepulang sekolah aku langsung mengajak paman ke PASTY. Apalagi kalau tidak untuk membeli bibit tanaman jahe seperti yang dimaksud Kak Seno. Aku juga menyempatkan diri mengitari zona satwa. Melihat-lihat aneka jenis burung dan ikan. Ada juga hewan peliharaan seperti hamster, kucing, kelinci dan monyet.

Liburan semester ini berjalan begitu cepat. Meski hari libur, aku dan teman-temanku setiap hari tetap pergi ke sekolah. Kami ingin memastikan bahwa tanaman yang kami tanam tumbuh dengan baik. Agar kami tahu jenis tanaman yang ditanam, kami memberi papan katalog. Mulai dari nama jenis tanaman hingga manfaatnya di dekat tanaman. Aku memang hanya menanam jahe. Namun aku jadi mengerti jenis tanaman lainnya. Termasuk manfaatnya. Ternyata banyak sekali tanaman di sekitarku yang bermanfaat sebagai obat.
Oya, ada satu lagi yang belum kuceritakan pada kalian. Selain diajari cara menanam dan merawat tanaman, dalam seminggu ini kami juga ber-flying fox di sekolah lho. Seperti outbond kan? Itu karena ada Kakak Mahasiswa yang dengan sukarela meminjamkan peralatan kepecintaalamannya kepada kami. Dari lantai tiga sekolahku, kami meluncur ke bawah menggunakan tali melewati kebun tanaman kami. Senangnya..!!




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL ANAK INDIGO MELALUI NOVEL

  Judul Buku : Misteri Anak Jagung Penulis : Wylvera Windayana Penerbit : PT. Penerbitan Pelangi Indonesia Cetakan : I, Januari 2013 Tebal Buku : 200 halaman Harga : Rp. 48.000,- Anda penasaran mengetahui siapa anak indigo itu, namun malas membaca buku The Indigo Children karya Lee Carroll dan Jan Tober? Saran saya, bacalah Misteri Anak Jagung. Novel remaja pertama yang ditulis oleh Wylvera Windayana ini mengisahkan tentang petualangan anak indigo dalam bingkai cerita misteri. Gantari – tokoh utama novel ini – sering dihantui oleh sosok Anak Jagung. Sosok itu seringkali muncul dalam mimpi-mimpinya. Sosok yang membuat Gantari penasaran sekaligus ketakutan. Selain muncul melalui mimpi, suara tangisan sosok misterius dari arah ladang jagung juga kerap mengusik telinganya. Apakah Legenda Anak Jagung yang diceritakan nenek Gantari itu benar-benar ada? Bersama Delia, Gantari berusaha mengungkap semuanya. Usaha mereka semakin terbuka saat

Kehidupan Binatang Laut

Hari ketiga saya tidak mendongeng. Tetapi menceritakan tentang kehidupan makhluk hidup di laut. Kebetulan Saka senang sekali jika kami menceritakan tentang fakta unik binatang. Dimulai dari binatang laut seperti ikan lumba-lumba. Saya bercerita pada anak-anak, bahwa lumba-lumba berbeda dengan ikan lainnya. Dalam berkembang biak, dia tidak bertelur. Tetapi beranak. "Berarti ikannya hamil ya, Bun?" tanya Reksa. "Iya." "Wah, podo Bunda," celetuk Saka. "Hehe..." Kami tertawa bersama. "Lumba-lumba juga menyusui, lho. Ada lubang di bagian bawah ikan yang bisa mengalirkan susu." jelas Saya. "Wah, keren, ya." Bu Lek Ida ikut takjub. "Kalau bernapas tidak menggunakan insang. Tapi menggunakan paru-paru. Makanya lumba-lumba sering muncul ke permukaan laut." "Lumba-lumba itu pinter ya, Bun?" tanya Reksa. "Iya, pinter. Bisa berhitung." Perbincangan kami pun melebar hingga ke pertunjukan lumba-lum

Bunda Belajar Mendongeng

Tadi siang saya mencoba belajar mendongeng. Pendengarnya hanya Saka karena Reksa sedang main ke rumah tetangga. Tidak memakai alat peraga. Cara mendongengnya pun tidak umum karena saya sambil tiduran di atas karpet. Saya memulai cerita tentang seekor binatang bernama “tokek”. “ Dek Saka, ngerti suarane tokek nggak?” Pertanyaan ini saya lontarkan, agar Saka paham tentang tokoh dalam dongeng yang akan saya ceritakan. Saka diam. “ Suarane meong-meong po yo?” “ Enggak. Itu suara.. Suara yang ada di rumah simbah. Suara kucing, yo” balas Saka. “ Oh, iyo yo. Suara kucing. Nek suara tokek ki seperti apa, dek?” Saka diam lagi. “ Suarane ki tekeeek-tekeeek.” “ Oh, suara itu, Ma. Aku ngerti. Pernah dengar suara itu di rumah lama,” ungkap Saka. Saya pun kemudian melanjutkan cerita tentang si tokek yang sedang berangkat ke sekolah. Dia berangkat jalan kaki saja. Tidak dianter sama bundanya. “ Kok nggak pake motor, Ma?” tanya Saka heran. “ Ya kan biar se