Langsung ke konten utama

MENDIDIK ANAK TANGGAP BENCANA



Judul Buku : Seri Aku Anak Cerdas: Saat Keadaan Darurat
Penulis : Dian Kristiani dan Tethy Ezokanzo
Ilustrasi : Evan RP
Penerbit : PT Bhuana Ilmu Populer
Cetakan : 2013
Tebal Buku : 64 halaman
Harga : Rp. 55.000,00

Meski tidak diinginkan, adakalanya manusia harus menghadapi kondisi darurat. Terlebih hidup di Indonesia yang merupakan daerah rawan bencana. Bencana yang datang tentu saja tidak memilih kepada siapa ia akan menemuinya. Baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda mempunyai potensi yang sama besar terkena bencana. Anak-anak yang merupakan kelompok paling rentan seringkali menjadi korban pertama dan paling menderita dibandingkan orang dewasa. Kondisi yang sangat kita sayangkan bersama.
Sadar akan kondisi tersebut, banyak kalangan yang mulai memberikan perhatian terhadap pentingnya pendidikan tanggap bencana kepada anak. Sebagai penulis, Dian Kristiani dan Tethy Ezokanzo juga tak ketinggalan. Melalui karyanya “Buku Seri Aku Anak Cerdas: Saat Keadaan Darurat”, penulis membekali anak-anak pengetahuan tentang langkah-langkah apa yang seyogyanya dilakukan saat mereka menemui kondisi darurat. Seperti saat terjadi bencana banjir, gempa dan kebakaran. Juga saat menemui kondisi darurat ringan seperti saat mati listrik dan terkunci di kamar mandi.
Bukan melalui tulisan yang kaku dan membosankan seperti buku pelajaran, penulis memilih mengedukasi pembaca ciliknya melalui cerita. Disajikan dalam enam judul cerita yakni “Aduh, Terkunci!”, “Awas,Kebakaran!”, “Banjir!”, “Ketika Bik Sur Pingsan”, “Pet, Padam!” dan “Bumi Bergoyang”, pembaca disuguhi kisah tentang Hana dan keluarganya saat menghadapi kondisi darurat. Setiap cerita menyisipkan pesan kepada pembacanya untuk tenang saat kondisi darurat tersebut mereka temui. Seperti saat terkunci di kamar mandi (hal.8), saat secara tak sengaja menemui kerabat mereka pingsan (hal.37) dan saat listrik mendadak mati (hal. 45). Selain mengkondisikan diri tenang, pembaca juga diharapkan menyelamatkan diri terlebih dahulu ketika menemui bencana, baru kemudian meminta pertolongan orang yanglebih dewasa.
Porsi ilustrasi dalam buku ini memang cukup besar karena setiap cerita tersampaikan dalam 6 halaman. Adapun setiap halaman hanya berisi satu hingga dua paragraf cerita, dengan jumlah kata yang rata-rata tidak lebih dari lima kalimat. Desain tampilan buku seperti ini menyenangkan bagi pembaca, terutama bagi anak yang belum lancar membaca karena mereka akan sangat terbantu dengan melihat ilustrasinya. Pun bagi anak yang masih dibacakan oleh orang tuanya, mereka akan dimanjakan dengan warna-warni ilustrasinya yang memikat buah karya Evan RP.
Selain pesan yang mencerdaskan pembaca mengenai bagaimana menghadapi kondisi darurat, buku ini juga menyimpan pesan agar menghargai setiap usaha yang dilakukan anak. Seperti dalam cerita “Pet, Padam!” dan “Awas, Kebakaran!”. Tentu saja pesan ini lebih ditujukan kepada orang tua yang seringkali melarang apa yang dilakukan anak tanpa melihat sisi baik dari upayanya. Seperti kata Bik Sur dalam penggalan kalimat berikut “Kalau mau bermain api, sebaiknya di luar dan diawasi orang dewasa” (hal.22). Jadi, bukan berarti tidak boleh. Juga perkataan Mama Abid, “Ya, Abid hebat bisa menyalakan lilin sendiri.” “Tapi sebaiknya, kita tak usah pakai lilin. Karena jika tersenggol, lilin akan membakar barang di sekitarnya.” (hal.49)
Sebenarnya buku ini masih satu seri dengan Buku Seri Aku Anak Cerdas lainnya. Ketiga judul buku lainnya adalah “Buku Seri Aku Anak Cerdas: Saat di Luar Rumah”, “Buku Seri Aku Anak Cerdas: Saat di Dalam Rumah” dan “Buku Seri Aku Anak Cerdas: Saat Berinternet”. Kalau ketiga buku lainnya ditulis sendiri oleh Dian Kristiani, buku ini ditulis berkolaborasi dengan Tethy Ezokanzo, penulis produktif yang juga aktif mendidik anak Indonesia melalui buku-bukunya.
Apabila ditanya mengenai apa kekurangan buku ini, saya akan balik bertanya kepada penulis, kapan menulis “Buku Seri Aku Anak Cerdas : Saat Keadaan Darurat Jilid II?”. Mengapa? Karena masih banyak jenis bencana yang mau tidak mau sering dihadapi oleh anak Indonesia. Sebut saja bencana alam seperti gunung meletus, kebakaran hutan, kekeringan, semburan lumpur lapindo, tsunami hingga bencana akibat konflik sosial di masyarakat seperti perkelahian pelajar dan perang antar suku. Meski agak lega mendengar bahwa Pemerintah sudah memasukkan pendidikan bencana ke dalam Kurikulum Tahun 2013, namun kehadiran buku ini tetap dirasa perlu agar anak Indonesia siaga bencana sejak dini. Sehingga kita tidak lagi mendengar anak-anak generasi penerus bangsa ini menjadi korban bencana, hanya karena kurangnya edukasi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Kelompok 8 : Ketika Anakku Jatuh Cinta

Tantangan Perkembangan seksualitas masa kini yang lebih cepat Gaya pacaran yang semakin berani Minimnya pendampingan orang tua, baik karena sibuk atau “kalah” dengan anak Lingkungan pergaulan yang semakin bebas Penyebab Naluri Cinta Terlalu Dini Tontonan baik melalui TV, medsos maupun gadget Haus kasih sayang karena ortu sibuk bekerja Lingkungan Pendidikan Seks (dalam Ulwan, 2007) Fase pertama (tamyiz usia 7-10 tahun), pada masa ini ajari anak tentang etika meminta izin dan memandang sesuatu. Fase kedua (murahaqah usia 10-14 tahun). Pada masa ini hindarkan anak dari berbagai rangsangan seksual. Fase ketiga (baligh, usia 14-16 tahun). Jika anak sudah siap menikah, pada masa ini anak diberi adab tentang mengadakan hubungan seks. Dititiktekankan pada menjaga diri dan kemaluan dari perbuatan tercela apabila belum siap menikah. Peran Ortu mendampingi anak menuju aqil baligh : Dikatakan aqil : dewasa mental, dipengaruhi pendidikan, bertanggung jawab, mandiri, pera...

Kehidupan Binatang Laut

Hari ketiga saya tidak mendongeng. Tetapi menceritakan tentang kehidupan makhluk hidup di laut. Kebetulan Saka senang sekali jika kami menceritakan tentang fakta unik binatang. Dimulai dari binatang laut seperti ikan lumba-lumba. Saya bercerita pada anak-anak, bahwa lumba-lumba berbeda dengan ikan lainnya. Dalam berkembang biak, dia tidak bertelur. Tetapi beranak. "Berarti ikannya hamil ya, Bun?" tanya Reksa. "Iya." "Wah, podo Bunda," celetuk Saka. "Hehe..." Kami tertawa bersama. "Lumba-lumba juga menyusui, lho. Ada lubang di bagian bawah ikan yang bisa mengalirkan susu." jelas Saya. "Wah, keren, ya." Bu Lek Ida ikut takjub. "Kalau bernapas tidak menggunakan insang. Tapi menggunakan paru-paru. Makanya lumba-lumba sering muncul ke permukaan laut." "Lumba-lumba itu pinter ya, Bun?" tanya Reksa. "Iya, pinter. Bisa berhitung." Perbincangan kami pun melebar hingga ke pertunjukan lumba-lum...

Pohon Singkong dan Pohon Padi

Memulai langkah pertama memang selalu berat. Termasuk dalam game level 10 kelas Bunsay kali ini. Selalu saja ada alasan bagi saya untuk menunda memulainya. Ya tidak enak badanlah, ya anak sudah tidurlah dan sebagainya. Dan dengan kekuatan bulan, akhirnya saya memaksa diri untuk memulai day 1. Sore hari saat anak-anak tiduran di kamar, saya memberitahu mereka bahwa bundanya ingin mendongeng. "Asyiiik," pekik Reksa dan Saka senang. "Nanti kalau bagus, Reksa bilang bagus ya, Bun." Reksa berinisiatif menjadi jurinya. "Ya. Seumpama kurang bagus, bilang kurang bagus, ya." "Oke." "Judulnya pohon singkong dan pohon padi," Saya memulai cerita dengan menyebut judul dongeng itu. Dikisahkan dalam dongeng tersebut, pohon singkong sedang bersedih karena manusia tidak suka makan singkong. Manusia lebih suka makan nasi. Padahal, sebelum pohon padi sebanyak sekarang, dulu kan manusia makannya singkong. Kenapa sekarang mereka tidak suka singkon...