Langsung ke konten utama

DAY 6 : TANTANGAN 10 HARI KOMUNIKASI PRODUKTIF


Memberi Pilihan Aktivitas
Jadwal aktivitas anak-anak setiap senin pagi adalah sekolah di PAUD. Sebelum berangkat biasanya saya tanya kepada mereka apakah mau sekolah ataukah tidak. Sejak awal saya memang tidak memaksa anak untuk sekolah karena saya percaya bahwa belajar itu bisa dimana saja. Berhubung Reksa itu anaknya senang berteman, dia lebih memilih berangkat sekolah dibanding beraktivitas di rumah.
Di sekolah, Reksa sudah mandiri. Dia beraktivitas sesuai arahan guru tanpa perlu saya dampingi. Seperti saat mewarnai, melipat, menggunting, membuat prakarya dan berolahraga. Saya hanya sesekali mengecek saja untuk melihat perkembangan belajarnya. Reksa juga sudah berani saya tinggal sendiri. Jadi, saat kondisi tidak memungkinkan (semisal saat saya sakit), Reksa tidak perlu ditemani.

Reksa (tengah) mewarnai di sekolah (5/6/2017)

Adapun untuk Saka, saya masih harus mengawasi aktivitasnya. Saka juga masih saya bebaskan untuk memilih aktivitasnya karena di usianya sekarang (2 tahun 9 bulan) dia belum bisa duduk diam dalam waktu yang agak lama. Jadi, meskipun dia tercatat sebagai peserta didik PAUD, Saka bebas memilih aktivitasnya. Beruntung, PAUD tempat belajar anak-anak membolehkan orang tuanya menemani sehingga Saka bisa saya temani saat beraktivitas di sekolah.
Senin kemarin, saat teman-temannya mewarnai, saya bertanya pada Saka apakah dia ingin mewarnai juga. Ternyata dia lebih memilih menata balok bayu. Dia senang sekali saat bisa menata baloknya hingga tinggi.
Ma, ki dhuwur.” Saka menunjuk balok yang disusunnya.
Waaa, iya. Dhuwur banget. Coba tambah lagi, dek!” Saya mengapresiasi kreativitasnya.
Saka meletakkan satu balok lagi di atas tumpukan baloknya. “Bruk,” suara balok berjatuhan membuat Saka tertawa gembira. Dia kemudian menata ulang tumpukan baloknya. Setelah agak lama bermain balok, Saka melihat teman-temannya mewarnai gambar ikan. Sepertinya Saka mulai tertarik.
Adek mau mewarnai?”
Ho oh,” jawabnya sambil mengangguk.
Kalau ingin mewarnai, minta kertas sama Bu Ita,” pintaku padanya.
Saka lantas meminta kertas ke ibu gurunya. Dia memilih crayon dan mulai mewarnai ikan sekehendaknya. Hehe.. Saya mencoba menjelaskan gambar mana yang diwarnai agar goresan crayonnya bisa lebih teratur.
Ini lho, dek, ikannya diwarnai.” Saya mengambil salah satu crayon dan mulai mencontohkan cara mewarnai gambar.
Ma,” ucapnya sambil menyerahkan kertas gambar kepada saya. Saka malah meminta saya yang mewarnai gambar ikan.
Lho, Dek Saka sing mewarnai. Nanti kalau sudah selesai mewarnai, gambarnya digunting.”

Saka bermain balok di sekolah (5/6/2017)

Ma,” ucapnya tetap tidak mau mewarnai.
Adek ajeng mewarnai atau menggunting,” saya memberi pilihan seperti ilmu komunikasi produktif yang diajarkan di IIP.
Ma.” Lagi-lagi dia tidak memilih.
Tepok jidat bundanya. Hehehe.. Saya pun kemudian mewarnai salah satu ikan. Mungkin Saka perlu dicontohkan bagaimana caranya.
Adek mangkeh sing menggunting ikan nggeh?”
Ma.” jawabnya santai.
Oh, Dek Saka pengen menempel mawon?”
Ma.”
Saya tersenyum mendengar jawabannya yang konsisten. “Lah, adek pengen ngopo?”
Ndeyok (lihat),” jawab Saka jujur.
Kali ini saya ingin tertawa pakai TOA. Hahaha.. Saya lantas mewarnai beberapa ikan dan mengguntingnya. Meski awalnya tidak mau mewarnai dan menggunting, saya coba meminta Saka menempel ikan di bukunya. Alhamdulillah, dia mau menempel ikan. Saya memang tidak memaksa anak mengikuti aktivitas PAUD. Saya hanya mencontohkannya. Syukurlah jika anak tertarik. Akan tetapi kalau tidak tertarik, biarlah dia bebas memilih yang disukainya. Toh bagi anak-anak, bermain adalah belajar.

Lelaki Pemberani
Selepas sholat maghrib, kami sekeluarga duduk di beranda rumah. Anak-anak bermain sambil bernyanyi. Saya bertugas sebagai host yang tugasnya memanggil anak-anak bernyanyi secara bergantian. Saat giliran Saka yang menyanyi, saya ikutan menyanyi karena Saka belum bisa menyanyi secara utuh. Baru bisa menirukan akhir katanya. Selain menyanyi, anak-anak juga bermain peran. Apalagi kalau bukan berperan sebagai hantu. Mereka senang menakuti ayahnya sambil merem-merem dan teriak “huaaah”. Ayah pun pura-pura takut. Anak-anak tentu saja senang karena merasa berhasil menakut-nakuti. Hehehe...

Reksa dan Saka berperan sebagai hantu (5/6/2017)
 
Setelah menamani anak-anak bermain, saya duduk disamping ayah.
Kerjaku ki kepenak tenan, yo. (Kerjaku enak banget, ya?” Ayah memulai pembicaraan sambil tetap menatap layar laptop. Sejak Reksa berusia 5 bulan di kandungan, ayah memang bekerja di rumah. Merintis usahanya di bidang pembuatan software bersama karyawannya.
Iya. Maneh bojone 24 jam neng sandinge. (Iya. Apalagi istrinya berada di sampingya 24 jam). Bersyukur, Yah,” balasku sambil tersenyum. Sejak setahun yang lalu (Maret 2016), saya memutuskan resign dari PNS dan memilih menemani anak-anak di rumah.
Kepenak maneh nek aku lungguh neng tengah. Terus ono sing lungguh neng kanan kiriku. Hehehe.. (Enak lagi kalau saya duduk di tengah. Terus ada yang duduk di kanan dan kiriku.)”
Wooo.. Hak desh!” Saya melancarkan pukulan di bahu kanannya. Saya tahu ayah bercanda. Dia memang kadang menggodaku dengan obrolan seperti itu.
Ayah tertawa. “Kan lelaki pemberani?”
Lelaki pemberani adalah lelaki yang mau membantu pekerjaan istrinya,” ucapku agak menyindir ayah.
Lehku ngewangi ki kurang opo to?” tanya Ayah dengan nada prihatin.
Saya tertegun mendengarnya. Ya, selama ini ayah sudah cukup membantu saya dalam hal memasak dan mencuci piring. Ayah memang tidak secara langsung terjun mengerjakannya. Namun, ayah membantu saya melalui asisten rumah tangga yang bekerja di keluarga kami.
Entah mengapa, saat kondisi repot seperti saat pindah rumah kemarin, saya masih butuh dibantu. Apalagi ayah menginginkan rumah secepatnya bersih. Munginkah saya kurang bersyukur? Obrolan malam itu membuat saya merenung. Sepertinya saya perlu belajar mengatur waktu lagi agar semua kerjaan bisa tertangani tanpa bibir njegadul (cemberut). Bismillah. 


#level1
#day6
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL ANAK INDIGO MELALUI NOVEL

  Judul Buku : Misteri Anak Jagung Penulis : Wylvera Windayana Penerbit : PT. Penerbitan Pelangi Indonesia Cetakan : I, Januari 2013 Tebal Buku : 200 halaman Harga : Rp. 48.000,- Anda penasaran mengetahui siapa anak indigo itu, namun malas membaca buku The Indigo Children karya Lee Carroll dan Jan Tober? Saran saya, bacalah Misteri Anak Jagung. Novel remaja pertama yang ditulis oleh Wylvera Windayana ini mengisahkan tentang petualangan anak indigo dalam bingkai cerita misteri. Gantari – tokoh utama novel ini – sering dihantui oleh sosok Anak Jagung. Sosok itu seringkali muncul dalam mimpi-mimpinya. Sosok yang membuat Gantari penasaran sekaligus ketakutan. Selain muncul melalui mimpi, suara tangisan sosok misterius dari arah ladang jagung juga kerap mengusik telinganya. Apakah Legenda Anak Jagung yang diceritakan nenek Gantari itu benar-benar ada? Bersama Delia, Gantari berusaha mengungkap semuanya. Usaha mereka semakin terbuka saat

Kehidupan Binatang Laut

Hari ketiga saya tidak mendongeng. Tetapi menceritakan tentang kehidupan makhluk hidup di laut. Kebetulan Saka senang sekali jika kami menceritakan tentang fakta unik binatang. Dimulai dari binatang laut seperti ikan lumba-lumba. Saya bercerita pada anak-anak, bahwa lumba-lumba berbeda dengan ikan lainnya. Dalam berkembang biak, dia tidak bertelur. Tetapi beranak. "Berarti ikannya hamil ya, Bun?" tanya Reksa. "Iya." "Wah, podo Bunda," celetuk Saka. "Hehe..." Kami tertawa bersama. "Lumba-lumba juga menyusui, lho. Ada lubang di bagian bawah ikan yang bisa mengalirkan susu." jelas Saya. "Wah, keren, ya." Bu Lek Ida ikut takjub. "Kalau bernapas tidak menggunakan insang. Tapi menggunakan paru-paru. Makanya lumba-lumba sering muncul ke permukaan laut." "Lumba-lumba itu pinter ya, Bun?" tanya Reksa. "Iya, pinter. Bisa berhitung." Perbincangan kami pun melebar hingga ke pertunjukan lumba-lum

Bunda Belajar Mendongeng

Tadi siang saya mencoba belajar mendongeng. Pendengarnya hanya Saka karena Reksa sedang main ke rumah tetangga. Tidak memakai alat peraga. Cara mendongengnya pun tidak umum karena saya sambil tiduran di atas karpet. Saya memulai cerita tentang seekor binatang bernama “tokek”. “ Dek Saka, ngerti suarane tokek nggak?” Pertanyaan ini saya lontarkan, agar Saka paham tentang tokoh dalam dongeng yang akan saya ceritakan. Saka diam. “ Suarane meong-meong po yo?” “ Enggak. Itu suara.. Suara yang ada di rumah simbah. Suara kucing, yo” balas Saka. “ Oh, iyo yo. Suara kucing. Nek suara tokek ki seperti apa, dek?” Saka diam lagi. “ Suarane ki tekeeek-tekeeek.” “ Oh, suara itu, Ma. Aku ngerti. Pernah dengar suara itu di rumah lama,” ungkap Saka. Saya pun kemudian melanjutkan cerita tentang si tokek yang sedang berangkat ke sekolah. Dia berangkat jalan kaki saja. Tidak dianter sama bundanya. “ Kok nggak pake motor, Ma?” tanya Saka heran. “ Ya kan biar se