Langsung ke konten utama

DAY 5 : Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif


Saat Anak Bertengkar
Berbeda dengan hari sebelumnya yang “manis” dan menyenangkan, hari Minggu (4/6/2017) Reksa susah diajak bekerja sama. Saat bermain bersama Saka, Reksa sering memancing pertengkaran. Hanya karena berbeda pendapat atau ucapan, Reksa tidak mau memaklumi adiknya. Seperti saat Saka minta dibuatkan sirup, Saka menyebut kata sirup dengan “iyut” karena memang ucapannya masih belum jelas.
Ora iyut, yo. Sirup,” ujar Reksa mengoreksi ucapan Saka.
Iyut.” Saka tak mau kalah.
Sirup. Adik ki salah. Ora, iyut,” suara Reksa meninggi.
Iyut.”
Sirup. Adik ki ngeyel. Sing bener sirup to, Bunda?” Reksa bertanya kepadaku mencari dukungan.
Sirup. Adik ki yo ngomonge sirup. Ning karang lisannya belum sempurna, pengucapane dadi iyut.” Saya memberi pemahaman kepada Reksa.
Nek lisanku wis sempurna?” Reksa balik bertanya.
Iya. Mbak kan sudah besar. Mbiyen Mbak yo ngomonge koyo adek. Arep ngomong ayam dadine ayau. Ngomong bayam dadine bayau. Yo ngono kui. Ning suwe-suwe dadi pener. Adek sesok yo suwe-suwe pener,” jelasku panjang lebar. Saya teringat materi komunikasi produktif tentang mengganti nasehat dengan refleksi pengalaman. Dalam momen ini, saya menuturkan pengalaman bunda dulu saat Reksa masih cadel. Saya berharap Reksa bisa memahami kondisi adiknya sehingga tidak mudah memancing pertengkaran.
Oh...” Reksa manggut-manggut. Dia lalu menlanjutkan bongkar-bongkar mainan bersama Saka. 

Monyet atau Huhu Haha, ya? (4/6/2017)
 
Rupanya kedamaian tidak berlangsung lama. Saat saya mencuci pakaian, kudengar pertengkaran antara dua bocil itu terjadi lagi.
Kui ki MONYET,” ucap Reksa.
UDU. HUHU HAHA..,” Saka ngeyel. Dia memang menyebut “monyet” dengan “huhu haha”. Menirukan nama salah satu tokoh cerita di buku. Jadi, sebenarnya semuanya benar.
MONYET” teriak Reksa tak mau kalah.
HUHU HAHA!”
MONYET”
HUHU HAHA”
Setelah bosan mendengar keduanya berseteru tentang “MONYET” dan “HUHU HAHA”, saya akhirnya turun tangan.
Monyet dan huhu haha itu sama. Nama hewannya monyet. Bunyinya 'huhu haha'. Mbak bener, menyebut monyet. Adek yo bener, menyebut huhu haha. Terserah mau pilih yang mana. Kabeh bener.” Lagi-lagi saya menjelaskan kepada keduanya.
Nek aku bilang monyet,” ujar Reksa.
Ya, boleh. Tapi yo ojo menyalahkan adik. Mengko dadine rame.”
Dua cerita di atas hanyalah dua contoh dari banyak contoh pertengkaran antara Reksa dan Saka. Terkadang saya langsung menengahi. Namun, kalau kondisinya tidak memungkinkan, saya mencari waktu yang tepat. Biasanya saya sampaikan pada ayah tentang topik pertengkaran antar keduanya. Dan ayahlah yang menjelaskan kepada keduanya bagaimana seharusnya bersikap dengan saudara.

Ayah Marah, Bunda Cemberut
Sejak jumat pagi, keluarga kami pindah ke rumah sebelah yang lebih luas. Baju-baju dan mainan saya pindah jumat pagi bersama anak-anak. Sedang almari pakaian baru dipindah jumat malam. Hari sabtu pagi saya mencicil memasukkan beberapa baju ke almari. Sabtu siang hingga sore, saya rewang ke tetangga membuat takjilan. Malamnya, saya lembur menyelesaikan tulisan “Day 3 : Tantangan 10 Hari Komunikasi Produktif”. Minggu pagi saya kembali melipat dan memasukkan baju ke almari. Belum semuanya. Tapi sudah lumayan mengurangi tumpukan baju di karpet.
Saya ingin segera membereskan baju dan mainan yang berantakan di rumah. Namun, kondisi terkadang memaksa saya berhenti sejenak. Seperti saat saya harus mencuci pakaian atau saat anak-anak minta ditemani. Jadilah, tiga hari rumah kami berantakan. Gunungan baju menumpuk di karpet. Mainan anak-anak tersebar di lantai. Belum lagi, ceceran cat air bekas mainan Reksa yang menambah lantai jadi makin lengket.
Melihat kondisi rumah yang seperti kapal pecah, ayah menegur bunda agar segera membereskannya. Saya menjelaskan mengapa rumah belum juga bersih. Awalnya ayah masih toleran. Lama-lama ayah tidak sabar.
GEK DIRESIKI OMAHE!” tegurnya keras saat saya baru selesai menyiapkan makanan untuk anak-anak.
Iyo, Yah. Tadi juga sudah dibersihkan. Ya karena disambi mencuci kok, yo.” Saya memberi penjelasan.
Nyucine ditinggal sikik kan iso?!” ujarnya tak mau kalah sambil menonton film bersama anak.
 
Kondisi rumah seusai dibersihkan (4/6/2017)

Duh Gusti. Maunya sih rumah bersih, cucian baju beres, anak tetap kepegang dan bunda masih bisa belajar. Apa daya, raga hanya satu. Waktu 24 jam mesti dibagi untuk anak, suami, masyarakat dan diri sendiri. Kalau waktu 24 jam hanya mengurus pekerjaan rumah tangga, terus kapan bundanya belajar? Inilah suara hati saya saat suami protes dengan keadaan rumah. Suara hati yang tak tersampaikan. Hanya bibir njegadul (cemberut) yang bisa menyampaikannya. Hehehe..
Makanya dibantu to, Yah. Biar cepet selesai,” kataku sambil mulai beres-beres rumah. Saya berharap ayahe tergerak membantu. Sayangnya, ayah malah tetap santai menonton film.
Aku kemarin kan wis bantu mindah lemari,” balas ayah alasan. Sebenarnya yang memindah lemari adalah karyawan ayah yang tinggal bersama kami. Berhubung yang melakukan adalah karyawan, itu dimaknai bahwa ayah sudah ikut andil membantu.
Saya menarik napas panjang. Kalau sudah seperti ini, saya hanya bisa bersabar. Saya akan kerjakan semua yang menjadi bagian tugas saya. Kalau belum selesai, mohon dimaklumi. Kalau ingin segera selesai, marilah dibantu. Inilah suara hati ibu rumah tangga yang kedua. Hehehe..
Mbak, mainannya sudah. Sekarang, bantu Bunda.” Saya mengajak Reksa beres-beres. “Adek, le nonton HP, sudah!” Saya matikan HP di tangan Saka. Saka lantas menangis keras. Tak ada senyum di wajah saya. Yang ada hanyalah bibir yang maju 5 cm. Hehehe..
Mendengar saya mengomel, ayah lantas mematikan TV. Saya pikir ayah akan membantu beres-beres rumah. Ternyata ayah malah sibuk membongkar lemari yang tak terpakai. Saya mengembalikan semua baju ke almari, menyimpan mainan anak-anak, menyapu dan mengepel lantai. Kejengkelan saya lama-lama menguap seiring bersihnya rumah kami.
Saya memang harus belajar lagi bagaimana berkomunikasi dengan pasangan. Kaidah 2C yakni Clear and Clarify sudah saya praktekkan. Hasilnya belum maksimal karena kejengkelan masih meliputi diri saya. Semoga ke depan, komunikasi saya dengan pasangan bisa lebih produktif. Amin.

#level1
#day5
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Kelompok 8 : Ketika Anakku Jatuh Cinta

Tantangan Perkembangan seksualitas masa kini yang lebih cepat Gaya pacaran yang semakin berani Minimnya pendampingan orang tua, baik karena sibuk atau “kalah” dengan anak Lingkungan pergaulan yang semakin bebas Penyebab Naluri Cinta Terlalu Dini Tontonan baik melalui TV, medsos maupun gadget Haus kasih sayang karena ortu sibuk bekerja Lingkungan Pendidikan Seks (dalam Ulwan, 2007) Fase pertama (tamyiz usia 7-10 tahun), pada masa ini ajari anak tentang etika meminta izin dan memandang sesuatu. Fase kedua (murahaqah usia 10-14 tahun). Pada masa ini hindarkan anak dari berbagai rangsangan seksual. Fase ketiga (baligh, usia 14-16 tahun). Jika anak sudah siap menikah, pada masa ini anak diberi adab tentang mengadakan hubungan seks. Dititiktekankan pada menjaga diri dan kemaluan dari perbuatan tercela apabila belum siap menikah. Peran Ortu mendampingi anak menuju aqil baligh : Dikatakan aqil : dewasa mental, dipengaruhi pendidikan, bertanggung jawab, mandiri, pera...

RANGKUMAN MATERI WEBINAR HOMESCHOOLING SESI 2

Lima bulan terakhir ini saya tertarik mempelajari model pendidikan homeschooling. Hari-hari saya berkutat dengan browsing dan browsing tentang apa itu homeschooling. Mengapa bisa begitu? Semua bermula dari kegelisahan saya saat masih tinggal dengan kakak perempuan saya yang mempunyai anak usia SD. Namanya Azkal (9 tahun). Setiap kali belajar bersama ibunya, setiap kali itu pula ia “ribut” dengan ibunya. Ibunya, kakak perempuan saya, merasa sejak duduk di kelas 3, Azkal susah sekali diajak belajar. Menurutnya, guru kelas Azkal kurang kreatif dalam mendidik. Seringkali hanya menyuruh anak mencatat materi pelajaran saja. Beberapa orang tua sudah menyampaikan keluhan tersebut ke pihak sekolah. Sayangnya, keluhan tersebut tidak diimbangi dengan perbaikan di pihak sang guru. Kondisi ini tidak berimbang dengan banyaknya materi pelajaran yang harus dipelajari siswa Sebenarnya materi pelajaran untuk SD kelas 3 belum begitu rumit. Hanya saja, sang guru menggunakan acuan Lembar Kegiatan ...

Review Kelompok 11 : Mengarahkan Orientasi Seksual Anak

Mengarahkan Orientasi Seksual Anak Perbedaan LGBT & SSA: Menurut sumber yang kami dapat, LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) merupakan identitas sosial sehingga mereka ingin diakui, diterima, dan dilegalkan baik oleh masyarakat dan negara. Sedangkan SSA (Same Sex Attraction) adalah orientasi seksual atau adanya ketertarikan secara emosional dan seksual dengan sesama jenis. Segelintir orang yang memiliki kecenderungan sejenis ini, sadar bahwa hal tersebut salah dan menyalahi fitrah. (Sumber: Artikel OH My God Anakku SSA. Majalah Ummi Desember 2015) Mengarahkan Orientasi Seksual Anak Rata-rata ilmuwan berpendapat bahwa *faktor lingkungan* berperan besar dalam membentuk orientasi seksual seorang anak. Oleh karena itu, hindari pemicu yang bisa membuat orientasi seksual anak keluar dari fitrah. Berikut beberapa langkahnya: 1. Kenalkan jati diri dan identitas sesuai jenis kelamin anak Misal hindari memberi mainan _princess_ kepada anak laki-laki dan mainan robot kepada ...