Langsung ke konten utama

Naik Kereta Prameks

Waktu berumur 2 tahun, Saka sangat menyukai kereta. Saat melihat kereta berjalan melewati Wates, dia selalu antusias melihatnya dari depan hingga belakang. Saat melihat gambar kereta di buku, dia langsung  menunjukkannya pada saya gambar yang ditemukannya itu. Untuk memenuhi rasa sukanya, pada pertengahan tahun 2016, kami sekeluarga pernah sengaja menggunakan kereta api saat perjalanan wisata ke Jakarta. Tentu saja Saka senang luar biasa.

Semenjak perjalanan tersebut, kami belum pernah naik kereta api lagi. Saat ini, Saka juga sudah tidak terlalu heboh saat melihat kereta dibanding dulu. Hingga kemudian saya mendengar info dari saudara bahwa perjalanan ke Jogja menggunakan kereta prameks itu menyenangkan. Disamping harganya yang terjangkau, perjalanannya juga relatif lebih cepat dibanding menggunakan mobil. Saya pun berniat mengajak anak-anak memakai moda transportasi ini jika ada kesempatan pergi ke Jogja bertiga.

Niat saya pun terwujudkan kemarin Sabtu. Saat memenuhi undangan Kopdar Rumbel Menulis IIP Jogja, saya bersama anak-anak berangkat menggunakan kereta prameks. Berhubung, acaranya dimulai pukul 08.30 WIB, saya pun membeli tiket kereta dengan jawal pemberangkatan pukul 06.39 WIB dari Stasiun Wates. Konsekuensinya, anak-anak mesti bangun lebih pagi agar tidak ketinggalan kereta.

Sehari sebelum berangkat saya sudah menyampaikan pada anak-anak bahwa perjalanan besok menggunakan kereta pagi. Jadi, anak-anak harus bangun lebih pagi. Mendengar bahwa besok akan naik kereta, anak-anak langsung senang. Saat pagi harinya, saya tidak kesulitan membangunkannya. Mereka sangat mudah diajak kerja sama hingga sampai stasiun kereta.

Pukul 06.10 WIB, kami sudah sampai di stasiun. Sambil menunggu kereta yang akan kita tumpangi sampai, saya berbincang dengan anak-anak. Reksa bertanya tentang petugas yang ada di sekitar stasiun. Mulai dari petugas yang memeriksa tiket. Siapakah dia? Apakah tugasnya? Hingga petugas yang mengumumkan setiap kali ada kereta akan tiba di stasiun.

Kurang lebih setengah jam kemudian, kereta yang akan kami tumpangi pun datang. Saya bersama anak-anak langsung masuk. Berhubung tiket yang kami dapat ada keterangannya “tanpa tempat duduk”, jadi saya pun meminta anak-anak untuk berdiri. Saya tahu bahwa ada kursi yang kosong, tapi saya meminta mereka tetap berdiri. Toh perjalanannya tidak lama. Hanya setengah jam saja.

Dalam perjalanan, Saka bertanya siapakah petugas yang memakai seragam itu? Saya menjawab bahwa dia adalah petugas yang bekerja mengecek penumpang yang baru saja naik dari Stasiun Wates. Apakah penumpang tersebut membawa tiket ataukah tidak? Jika bawa, maka dia diperbolehkan ikut sampai tujuan. Jika tidak, maka dia bisa mendapat sanksi berupa denda.
“Kok bawa pistol, Ma?” tanya Saka kemudian. Rupanya Saka melihat pistol yang disarungkan di sebelah kanan petugas. Entah apakah pistol beneran ataukah tidak, saya sendiri pun tak tahu.
“Iya. Untuk berjaga-jaga kalaua ada penjahat,” jawab saya menjelaskan.

Reksa bertanya bagaimana jika ada penumpang yang sakit? Saya pun menjelaskan bahwa di kereta ini ada petugas yang siap membantu jika ada penumpangnya yang sakit. Jika sakitnya ringan, ya cukup diobati saja. Jika sakitnya parah dan membutuhkan pertolongan, kereta bisa saja diminta berhenti. “Bagaimana kalau sakitnya sakit panas?” tanya Reksa kemudian. Saya bisa mengerti arah pertanyaan Reksa karena hari sebelumnya Saka sempat agak anget badannya.
“Dicek dulu panasnya. Apakah panasnya normal ataukah sudah paraha? Jika masih normal, cukup diberi obat terus diminta tiduran.” Saya mencoba memberinya gambaran.
“Tidurnya dimana, Bun?”
Saya melihat sekeliling. “Ya, tidurnya sambil duduk,” jawab saya agak ragu. Saya sendiri malah kurang tau apakah di kereta ada tempat tidurnya ataukah tidak.

Akhirnya kami sampai di Stasiun Maguwoharjo pukul 07.15 WIB. Meski ini adalah perjalanan kedua menggunakan kereta, namun ada hal baru yang anak-anak pelajari dalam perjalanannya. Tentang budaya antri, konsistensi, rasa ingin tahu, kepedulian dan sebagainya.

Terima kasih Prameks.    

#Tantangan10Hari
#Level7
#KuliahBunsayIIP
#BintangKeluarga

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Kelompok 8 : Ketika Anakku Jatuh Cinta

Tantangan Perkembangan seksualitas masa kini yang lebih cepat Gaya pacaran yang semakin berani Minimnya pendampingan orang tua, baik karena sibuk atau “kalah” dengan anak Lingkungan pergaulan yang semakin bebas Penyebab Naluri Cinta Terlalu Dini Tontonan baik melalui TV, medsos maupun gadget Haus kasih sayang karena ortu sibuk bekerja Lingkungan Pendidikan Seks (dalam Ulwan, 2007) Fase pertama (tamyiz usia 7-10 tahun), pada masa ini ajari anak tentang etika meminta izin dan memandang sesuatu. Fase kedua (murahaqah usia 10-14 tahun). Pada masa ini hindarkan anak dari berbagai rangsangan seksual. Fase ketiga (baligh, usia 14-16 tahun). Jika anak sudah siap menikah, pada masa ini anak diberi adab tentang mengadakan hubungan seks. Dititiktekankan pada menjaga diri dan kemaluan dari perbuatan tercela apabila belum siap menikah. Peran Ortu mendampingi anak menuju aqil baligh : Dikatakan aqil : dewasa mental, dipengaruhi pendidikan, bertanggung jawab, mandiri, pera...

Pohon Singkong dan Pohon Padi

Memulai langkah pertama memang selalu berat. Termasuk dalam game level 10 kelas Bunsay kali ini. Selalu saja ada alasan bagi saya untuk menunda memulainya. Ya tidak enak badanlah, ya anak sudah tidurlah dan sebagainya. Dan dengan kekuatan bulan, akhirnya saya memaksa diri untuk memulai day 1. Sore hari saat anak-anak tiduran di kamar, saya memberitahu mereka bahwa bundanya ingin mendongeng. "Asyiiik," pekik Reksa dan Saka senang. "Nanti kalau bagus, Reksa bilang bagus ya, Bun." Reksa berinisiatif menjadi jurinya. "Ya. Seumpama kurang bagus, bilang kurang bagus, ya." "Oke." "Judulnya pohon singkong dan pohon padi," Saya memulai cerita dengan menyebut judul dongeng itu. Dikisahkan dalam dongeng tersebut, pohon singkong sedang bersedih karena manusia tidak suka makan singkong. Manusia lebih suka makan nasi. Padahal, sebelum pohon padi sebanyak sekarang, dulu kan manusia makannya singkong. Kenapa sekarang mereka tidak suka singkon...

Kehidupan Binatang Laut

Hari ketiga saya tidak mendongeng. Tetapi menceritakan tentang kehidupan makhluk hidup di laut. Kebetulan Saka senang sekali jika kami menceritakan tentang fakta unik binatang. Dimulai dari binatang laut seperti ikan lumba-lumba. Saya bercerita pada anak-anak, bahwa lumba-lumba berbeda dengan ikan lainnya. Dalam berkembang biak, dia tidak bertelur. Tetapi beranak. "Berarti ikannya hamil ya, Bun?" tanya Reksa. "Iya." "Wah, podo Bunda," celetuk Saka. "Hehe..." Kami tertawa bersama. "Lumba-lumba juga menyusui, lho. Ada lubang di bagian bawah ikan yang bisa mengalirkan susu." jelas Saya. "Wah, keren, ya." Bu Lek Ida ikut takjub. "Kalau bernapas tidak menggunakan insang. Tapi menggunakan paru-paru. Makanya lumba-lumba sering muncul ke permukaan laut." "Lumba-lumba itu pinter ya, Bun?" tanya Reksa. "Iya, pinter. Bisa berhitung." Perbincangan kami pun melebar hingga ke pertunjukan lumba-lum...